Senin, 21 Januari 2019

Yha...

Perjalanan panjang. Usai menyusuri semak, kini hamparan rawa berada tepat di depan matanya. Malam itu seharusnya purnama. Waktu terbaik baginya untuk istirahat. Atau setidaknya melepas lelah. Sekedar berjemur di bawah terik purnama, sudah cukup menyembuhkan baginya. Tapi langit tak menghendaki. Bukannya bintang, malam itu langit lebih tertarik pada awan hitam, mempersembahkan guguran butir-butir air yang deras. Tidak ada purnama.

Tubuhnya mulai menggigil. Di ujung semak-semak sekaligus di pangkal rawa. Ia harus berjalan menuju sebuah pulau yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Pulau dengan banyak peri, katanya. Matahari yang tak kunjung tinggi membuatnya semakin tertanam dalam keyakinan yang memudar. Tentang purnama, matahari, dan pulau peri.

Ke-sia-siaan— gumamnya pada ranting semak yang belum sempat mengering.

Segala upaya ia lakukan untuk mencari alasan mengapa harus menuju pulau itu. Ada apa disana? Selain peri. Ia sudah terlanjur melewati semak-semak. Enggan untuk kembali. Maka itulah satu-satunya alasan baginya untuk melanjutkan perjalanan melewati rawa. Jika ada yang ia temui dalam perjalanan, ia hanya akan diam. Sebab, menyapa berarti memulai. Dan semua yang bermula akan berakhir. Lalu ia sadar bahwa perjalan ini telah ia mulai.

Ia telah memulai perjalanannya sendiri. Maka akan berakhir juga nantinya. Semoga di pulau...
Jika tidak, kurasa itu bukan akhir baginya. Ia akan terus berjalan.
Kecuali ia mengakhirinya sendiri. Di ujung semak-semak. Atau kembali. Memulai lagi, mengakhirinya...
Memulai,
Mengakhiri...
...