Senin, 20 Maret 2017

Sejengkal ruang di kala hujan


Hampir pukul empat sore, tepatnya pukul 15.56. Tak ada kopi, juga coklat panas. Hanya beberapa batang rokok yang sebentar lagi juga akan lenyap. Pintu rumah terbuka seperti biasa. Asri barisan pohon cemara yang menjadi pagar. Aroma tanah yang basah berkat rombongan air hujan.

Rintiknya indah, aku suka”, gumamku sambil menatap takjub dari jendela

Langkah sepasang kaki dengan hentakan yang kadang memelan terdengar mendekat. Tak lagi terkejut, mendarat sebuah pelukan dari arah punggungku.

Damai”, ucapku padanya

Sepertinya ia hanya tersenyum. Aku masih memandangi hujan.
Hari ini tak ada playlist 70’an. Hari ini aku hanya ingin mendengar irama hujan, satu paket dengan dingin-nya. Maksudku segar.

Aku ingin bermain lumpur

Dia terus mengelus tubuhku, bermaksud menghangatkan aku yang memang hanya mengenakan kaos sleeveless bersablon Kate Winslet hasil diy­-ku. Ukurannya cukup besar di tubuhku, menutupi sampai sebagian paha.

Aku tidak suka dinding

Kurasa, kali ini ia mulai memperhatikan perkataanku. Aku masih tak menengok padanya, namun kurasakan nafasnya hangat menghadapku.

Aku tidak akan menutup pintunya

Ia melepas arloji dari tangan kirinya. Menaruhnya di meja kecil penuh bingkai foto, tepat disamping aku berdiri.  Suara hujan tak lagi sendiri.
Kurasakan udara dingin menyelinap di punggungku.

Aku ingin...”

Lalu, berdirilah ia tepat di depanku. Mengisi ruang antara aku dan jendela