Sabtu, 19 Desember 2015

Noktah Desember

Hujan dan kenangan, selalu menjadi romansa yang tak pernah menjemukan di musim rindu seperti ini, di bulan Desember. Akan selalu ada paragraf yang tak sengaja hilang, lalu tiba-tiba muncul di musim selanjutnya.

Kikira ini puncak gunung
Kukira ini air terjun
Segar membelaiku
Lupa, semalam kita bercumbu

Lelaki paruh baya nampak gundah
Di simpang jalannya mencari kata
Tuk merangkai sajak gembira
Rupanya ia sedang jatuh cinta

Lainnya,

Samar kulihat sepasang suami istri yang tak harmonis. Anak gadisnya nampak gundah, berdiri sangat jauh dari sepasang suami istri itu. Tak sengaja kulihat pria lain duduk dalam Ferrari, seperti menunggu suami istri itu harmonis kembali.

Oh, aku salah. Si istri menghampiri pria dalam Ferrari itu dan meningalkan suaminya di rumah dengan anak gadis-nya yang masih gundah, dan masih berdiri di sudut yang sama.

Oh, aku salah. Si istri dan pria dalam Ferrari membawa pergi anak gadis itu. Dalam Ferrari, mereka ber-tiga.

Sepi…
Sekilas yang kutangkap dari raut suami
Menunggu anak gadisnya menyapa
Dalam rindu ia merana

Tua dan sendiri
Betapa kenistaan yang tak seorangpun ingini
Pergi tanpa permisi
Menyisakan dusta, tak pantas ditangisi

Desember ini,
Saksi bisu biduk yang resah
Mengangkut sisa-sisa keikhlasan
Sembari menenun benang suka cita

aku,
pria paruh baya,
suami istri dan anak gadisnya,
serta pria dalam Ferrari,
kita tak saling mengenal,
kita hanya dimensi yang terjebak
tak mampu mengingkari Desember
percikan cerita yang kadang hambar
siapa sangka justru menarik bagi lainnya

seperti aku,
yang hanya mampu melihat,
seperti bercermin,
namun pekat oleh noktah,
Desember


Minggu, 06 Desember 2015

Pada apa

Selalu,
Dan tiba-tiba...
Resah melulu
Hingga bercak menjadi warna
Utuh,
Menggenapi ruang cemburu
Menebar prasangka
Menyayat relung tanpa ampun

Jika sampai waktunya hamba
Menyudahi mimpi tuk menari menggoda bidadari
Biarkan kaki ini berhenti dengan sendirinya
Berputar pada latar yang hamba gelar terlalu dini

Menari hamba dalam kiasan hujan
Basah oleh sisi yang membenci senandung tanpa nada anggun
Benci pada hamba yang hambar
Pada hamba yang hanya mampu hinggap sebatas punggung