Pada titik yang tak terduga
Kepenatan ini semakin nyata
Merajai diri yang bertameng tawa
Menopang batin yang luka
Pada suatu petang di ujung kota. Jika
masih ingat kisah pak tua itu, semoga aku tak melukai siapapun. Karena aku
telah lancang berpetualang dalam ruang gelap batinnya. Anak gadisnya, mungkin
sudah besar, memiliki kekasih, dan… entah, semoga pak tua masih tinggi bertahta
dalam hati anak gadisnya, sebagai satu-satunya pria yang akan sangat terluka
saat sedikit saja air mata gugur dari mata si anak gadis.
Anak gadisnya tumbuh menjadi wanita
yang tangguh. Hati setengah pria membantunya menipu dunia namun tak akan bisa
mengingkari bahwa ia tetaplah seorang gadis yang rindu ayahnya.
Purnama tlah usai. Cahayanya memudar
seiring kepergian ibu. Ibu pergi membawa sejuta rindu untuk dicintai. Jauh membelakangi
aku dan ayah yang berdiri tegak namun enggan melambaikan tangan. Ibu…
Anak gadisku sudah tumbuh besar. Ayah tak
tahu bagaimana cara mendidikmu menjadi wanita yang seutuhnya. Ayah tidak bisa
merasakan ketika kau jatuh cinta atau bahkan patah hati. Ayah tak tahu cara
membelaimu manja, seperti anak gadis lainnya. Ayah juga tidak bisa mengajarimu
memasak dan bersolek. Maafkan ayah…
Kau sangat mirip dengan ayahmu. Sikapmu
yang keras kepala tak ubahnya ayahmu. Kini ibu tlah jauh darimu, tlah jauh dari
ayahmu. Hati ini tak bisa dipaksakan. Ibu tahu kau marah, nak. Ibu tahu kau
benci dengan keadaan ini. Ibu tahu sulit bagimu menerimanya. Ibu tak pernah
menginginkan penderitaanmu. Percayalah, ibu menyayangimu. Kelak jika kau sudah
dewasa, kau akan mengerti . percuma menjelaskan padamu saat ini. Jiwamu sedang
marah, penuh oleh emosi. Maafkan ibu…
###
Membenci hanya akan menyakiti diriku
sendiri. Sejak saat itu, tak pernah sekalipun kurasa nyenyak dalam pejaman
mataku kala malam tiba. Ranjangku sangat nyaman. Udara di kamarku sangat segar
dan semua kebutuhanku ada di sana. namun nyatanya kenyamanan dan kedamaian ini
gersang bagiku. Ruangan ini mengunci semua imajinasiku. Ruangan ini mengunci
semua mimpiku. Ruangan ini seperti peternakan. Menamung aku yang lapar hingga
kembali kenyang, siap untuk disembelih. Aku rindu ayah. Aku rindu ibu. Aku rindu
tawa di atas jok roda dua.
Seorang pemuda bertanya padaku,
terbuat dari apa hatiku. Yang ia tahu hanyalah aku yang pelit senyum untuknya. Yang
ia tahu hanyalah aku yang selalu memukulnya. Yang ia tahu hanyalah aku yang
selalu menyalahkannya. Yang ia tahu hanyalah aku selalu meremehkannya. Segala yang
ia tahu hanyalah aku yang bertameng dusta. Hanyalah aku yang mencoba berdiri
diatas serpihan kisah hidupku yang tak menyenangkan.
Tiada lagi kukenali diriku kini. Sekitarku
hanyalah drama murahan yang tak jelas siapa pemeran utamanya. Tak jelas siapa
antagonis dan protagonisnya, tak jelas bagaimana awal dan akhirnya. Semua mengambil
alih. Tak terkecuali pemuda yang bertanya terbuat dari apa hatiku.
Sebentar kurasa angin segar dari
pemuda itu. Namun tak lama, pemuda membuatku muak dengan dramanya yang selalu
meributkan hal yang itu-itu saja denganku. Bukan tanpa alasan jika aku ingin
membunuhnya karena terlalu berisik. Bukan juga tanpa alasan saat aku menyadari
betapa baiknya pemuda itu, hingga akan lebih baik aku bunuh diri saja agar
semuanya selesai. Satu manusia mati, dan perannya selesai.
Pemuda itu mengambil bagian sedihku. Bahunya
kubuat bersandar. Kuhela nafas panjang, menikmati dunia. Sebentar saja, ingin
kurasakan hembusan angin. Damai , tapi gersang. Menit demi menit kuhabiskan
duduk berdua dengan pemuda itu di puncak gunung yang indah. Bahunya setia
menopang kepalaku. Hingga ia mendapat jawaban terbuat dari apa hatiku ini.
Satu-satunya yang terisa dari mimpiku
adalah aku ingin mencintai pemuda itu dengan tulus dan sederhana. Aku tidak tahu
bagaimana caranya, karena aku tak pernah melihat ibu melakukan itu kepada ayah.
Begitupun aku tak tahu apa yang menjadi mimpinya denganku, karena ayah tak
pernah menceritakan padaku apa mimpinya dengan ibu.
Seperti yang lainya. Aku ingin menjadi
pengantin yang bahagia. Soal mimpi dan ambisiku, sudah kubunuh. Ragaku hanya
tersisa untuk asa mereka, bukan lagi asaku. Hanya satu, dan satu-satunya,
pemuda itu mimpi terbesarku saat ini. Satu-satunya mimpiku, bermimpi
bersamanya.
Jika hal terpahit yang akan kutelan
adalah kepergian pemuda itu, maka aku tak akan lagi bermimpi, aku tak akan lagi
hidup. Ku ‘kan layu, berserakan, tertiup angin. Ku ‘kan hilang, ku ‘kan jadi
hujan…
Tiada terkenang…
Tanpa nama…
Hanya riwayat…