Minggu, 07 Februari 2016

feBLUEari

Pada titik yang tak terduga
Kepenatan ini semakin nyata
Merajai diri yang bertameng tawa
Menopang batin yang luka

Pada suatu petang di ujung kota. Jika masih ingat kisah pak tua itu, semoga aku tak melukai siapapun. Karena aku telah lancang berpetualang dalam ruang gelap batinnya. Anak gadisnya, mungkin sudah besar, memiliki kekasih, dan… entah, semoga pak tua masih tinggi bertahta dalam hati anak gadisnya, sebagai satu-satunya pria yang akan sangat terluka saat sedikit saja air mata gugur dari mata si anak gadis.
Anak gadisnya tumbuh menjadi wanita yang tangguh. Hati setengah pria membantunya menipu dunia namun tak akan bisa mengingkari bahwa ia tetaplah seorang gadis yang rindu ayahnya.
Purnama tlah usai. Cahayanya memudar seiring kepergian ibu. Ibu pergi membawa sejuta rindu untuk dicintai. Jauh membelakangi aku dan ayah yang berdiri tegak namun enggan melambaikan tangan. Ibu…
Anak gadisku sudah tumbuh besar. Ayah tak tahu bagaimana cara mendidikmu menjadi wanita yang seutuhnya. Ayah tidak bisa merasakan ketika kau jatuh cinta atau bahkan patah hati. Ayah tak tahu cara membelaimu manja, seperti anak gadis lainnya. Ayah juga tidak bisa mengajarimu memasak dan bersolek. Maafkan ayah…
Kau sangat mirip dengan ayahmu. Sikapmu yang keras kepala tak ubahnya ayahmu. Kini ibu tlah jauh darimu, tlah jauh dari ayahmu. Hati ini tak bisa dipaksakan. Ibu tahu kau marah, nak. Ibu tahu kau benci dengan keadaan ini. Ibu tahu sulit bagimu menerimanya. Ibu tak pernah menginginkan penderitaanmu. Percayalah, ibu menyayangimu. Kelak jika kau sudah dewasa, kau akan mengerti . percuma menjelaskan padamu saat ini. Jiwamu sedang marah, penuh oleh emosi. Maafkan ibu…

###
Membenci hanya akan menyakiti diriku sendiri. Sejak saat itu, tak pernah sekalipun kurasa nyenyak dalam pejaman mataku kala malam tiba. Ranjangku sangat nyaman. Udara di kamarku sangat segar dan semua kebutuhanku ada di sana. namun nyatanya kenyamanan dan kedamaian ini gersang bagiku. Ruangan ini mengunci semua imajinasiku. Ruangan ini mengunci semua mimpiku. Ruangan ini seperti peternakan. Menamung aku yang lapar hingga kembali kenyang, siap untuk disembelih. Aku rindu ayah. Aku rindu ibu. Aku rindu tawa di atas jok roda dua.
Seorang pemuda bertanya padaku, terbuat dari apa hatiku. Yang ia tahu hanyalah aku yang pelit senyum untuknya. Yang ia tahu hanyalah aku yang selalu memukulnya. Yang ia tahu hanyalah aku yang selalu menyalahkannya. Yang ia tahu hanyalah aku selalu meremehkannya. Segala yang ia tahu hanyalah aku yang bertameng dusta. Hanyalah aku yang mencoba berdiri diatas serpihan kisah hidupku yang tak menyenangkan.
Tiada lagi kukenali diriku kini. Sekitarku hanyalah drama murahan yang tak jelas siapa pemeran utamanya. Tak jelas siapa antagonis dan protagonisnya, tak jelas bagaimana awal dan akhirnya. Semua mengambil alih. Tak terkecuali pemuda yang bertanya terbuat dari apa hatiku.
Sebentar kurasa angin segar dari pemuda itu. Namun tak lama, pemuda membuatku muak dengan dramanya yang selalu meributkan hal yang itu-itu saja denganku. Bukan tanpa alasan jika aku ingin membunuhnya karena terlalu berisik. Bukan juga tanpa alasan saat aku menyadari betapa baiknya pemuda itu, hingga akan lebih baik aku bunuh diri saja agar semuanya selesai. Satu manusia mati, dan perannya selesai.
Pemuda itu mengambil bagian sedihku. Bahunya kubuat bersandar. Kuhela nafas panjang, menikmati dunia. Sebentar saja, ingin kurasakan hembusan angin. Damai , tapi gersang. Menit demi menit kuhabiskan duduk berdua dengan pemuda itu di puncak gunung yang indah. Bahunya setia menopang kepalaku. Hingga ia mendapat jawaban terbuat dari apa hatiku ini.
Satu-satunya yang terisa dari mimpiku adalah aku ingin mencintai pemuda itu dengan tulus dan sederhana. Aku tidak tahu bagaimana caranya, karena aku tak pernah melihat ibu melakukan itu kepada ayah. Begitupun aku tak tahu apa yang menjadi mimpinya denganku, karena ayah tak pernah menceritakan padaku apa mimpinya dengan ibu.
Seperti yang lainya. Aku ingin menjadi pengantin yang bahagia. Soal mimpi dan ambisiku, sudah kubunuh. Ragaku hanya tersisa untuk asa mereka, bukan lagi asaku. Hanya satu, dan satu-satunya, pemuda itu mimpi terbesarku saat ini. Satu-satunya mimpiku, bermimpi bersamanya.
Jika hal terpahit yang akan kutelan adalah kepergian pemuda itu, maka aku tak akan lagi bermimpi, aku tak akan lagi hidup. Ku ‘kan layu, berserakan, tertiup angin. Ku ‘kan hilang, ku ‘kan jadi hujan…
Tiada terkenang…
Tanpa nama…

Hanya riwayat…