Rabu, 28 Desember 2016

Penggalan

Ada yang diam diam mengingat

Namun sadar tak ada yang utuh


Sudut bibir yang terbaca jelas

kosong dalam tawanya

Sekeras apapun mengingat

Tak kunjung ia jumpai apa


Semuanya begitu cepat. Penggalan-penggalan kisah yang terabadikan dalam toples berkarat di dasar ingatan. Setelahnya, lupa.


Siapa dia siapa mereka

Dimana dia dimana mereka


Menjumpai sejuta tanya, lalu mengilang. Selesai begitu saja.

Tak ada yang tersisa,

Selepas datang,

Sudahlah pasti pergi nantinya.

Entah siapa yang memilih beranjak


Lainnya,

Kulihat akrab satu sama lain

Disana cinta bersemi

Disana tawa bersarang

Disanalah kamu ketika itu


Datanglah pada tempatnya. Segerombolan cerita yang menyela tak memiliki awal. Merebut cinta, merebut tawa, tapi tidak dengan kamu. Kokoh pada cerita yang sudah kamu mulai. Sepertinya tak ada isyarat berarti untuk berpaling.


Segerombolan cerita yang menyebar dan menyerang cerita lain. Seperti sesuatu yang terdengar kacau.

Dalam derasnya cerita yang entah siapa dan apa serta bagaimana, seletup napas tiba-tiba berbisik untuk berlari sekencang mungkin.


Tinggalkan

Lupakan

Mulailah lagi


Lalu kamu

Tampak berdiri di atas ceritamu,

Menjadi awal baru dari sebuah cerita lainnya

Percayalah,

Kamu menyembuhkan

Meski cerita lain yang menemuimu tak mengerti benar siapa ceritamu yang sudah-sudah

Cerita barumu kini tak akan segan-segan membumi hangus-kan cerita apapun sebelumnya

Datangnya ia atas nama kasih

Darangnya ia atas nama harapan

Datangnya ia atas nama masa depan


Jadilah kini cerita barumu

Yang memiliki awal,

Jadilah kini dua langkah kecil

Yang memiliki tujuan,

Jadilah kini

Sampai hari ini

Selasa, 29 November 2016

Untuk Sahabatku

Hai...
Rasanya, sudah lama sekali mengenalmu
Sudah hafal benar dengan tai-taimu
Sudah hafal benar dengan tabiat-tabiatmu

Sahabatku...
Selamat...
Kamu sudah berhasil memenangkan hati gadis itu,
Yang dulu pernah kau tanyakan padaku
Kini ia milikmu...

Selamat...

Sahabatku,
Maafkan aku,
Aku bersedih, saat harus kuterima
Bahwa waktumu akan terbagi dengannya,
Aku tak suka,
Tapi...

Sahabatku...
Baru-baru ini kau kembali
Senang rasanya,
Kamu menghilang cukup lama...
Maaf,
Jadi berburuk sangka padanya,
Pada gadismu...
Maaf

Sahabatku...
Maaf,
Sering tak tahu diri menguasaimu,
Mungkin, membuat gadismu iri
Membuat ia merasa tak penting bagimu,

Tapi ia, gadismu,
Mencuri mu!

Atau maaf,
Aku yang mencurimu dari gadismu itu

Harusnya aku mengalah
Harusnya...

Aku melihat kecemburuannya,
Tidakkah kau tahu?
Aku melihat kegelisahannya,
Kalau-kalau kau mengabaikannya
Tidakkah kau melihat?


Sahabatku,
Nanti,
Kita hanya akan saling berkunjung saat merindu.
Selebihnya, kita habiskan dengan pilihan dan pasangan masing-masing...
Sahabatku,Benar kita adalah sejati,

Tapi yang benar saja,
Kita tidak akan saling memandikan saat tua renta nanti bukan?
Salah satu dari kita tidak akan menggoreng pisang, kan?
Atau,
Salah satunya lagi memainkan gitar sembari bernyanyi, bukan?
Itu mimpinya, bersamamu...

Sahabatku,
Maafkan aku...
Aku tak punya nasehat bijak soal asmara,
Maafkan aku,
Tak mampu membuatmu mengerti,
Bahwa dia, gadismu, akan selalu disana menunggumu pulang...
Pulanglah...
Pulang...

Senin, 28 November 2016

Untuk kekasihku

Lagi,
Aku membuatmu bersedih..
Lagi,
Membuatmu menangis,
Membuatmu mengiba

Maafkan aku...
Maaf,
Aku lupa
Bahwa hatimu terbuat dari rakitan baja pilihan.
Keras. Angkuh...
Tapi dibungkus indah oleh bara bait masa  lalumu
Lemah sebenarnya.

Tolong,
Jangan lagi bersedih
Simpan baik-baik air matamu untuk saat-saat bahagia yang belum bisa kupenuhi sekarang...

Gulungan rindumu sangat panjang,
Disertai keresahan tak berpangkal tentang banyak manusia di sekitarmu,
Mungkin ada aku,
Aku tahu itu...

Ingin kutegaskan.
Aku punyamu.
Usah menangisiku,
Memintaku untuk menemanimu,
Memintaku untuk sekedar memelukmu.
Aku punyamu.
Kupastikan aku untukmu.

Sayangnya,
Aku tahu benar mengapa kau masih bersedih...
Karena aku tak seperti itu.
Ya,
Aku nyaris tak pernah memelukmu lagi,
Dalam sendirimu, aku tak disana.
Bahkan aku tak tahu,
Sudah makan-kah kamu hari ini?
Bahkan,
Aku tak tahu berapa banyak teknik mengolah suara yang sudah kau kuasai,
Demi mendapat pujianku..

Maaf,
Membuatmu merasa sendiri...

Katamu...
Suatu hari nanti,
Aku dan kamu akan menghabiskan waktu berdua di beranda

Katamu...
Kau akan memasakkan pisang goreng untukku,
Dan aku yang mempersembahkan beberapa bait lagu kesukaan kita,
Atau maaf, kesukaanku saja.

Susah payah kau jelaskan
Kau rela bunuh ambisimu
Agar bisa berbagi denganku,
Sesuai apa yang kusukai...
Maaf...
Aku tak menyadarinya

Bagaimana seharusnya aku memperlakukanmu?
Sekedar memujimu saja aku enggan,
Hingga membuatmu merasa tak istimewa.

Percayalah...
Dirimu indah...
Hebat...
Pecinta yang tangguh.
Aku hanya tak punya kata yang tepat untuk mewakilinya

Banyak mimpimu tentang kita
Banyak sekali,
Terlalu banyak...
Tapi tak satupun kumengerti,
Bahwa semua yang kau mau adalah kita selamanya...
Lagi,
Aku tuli...

Permataku...
Aku tahu,
Banyak yang menginginkanmu di luar sana,
Yang lebih bisa memanjakanmu,
Menyentuhmu dengan lembut,
Yang tidak akan sering marah-marah padamu,
Tapi kau masih kepadaku..
Kamu masih ke aku..
Sering juga kau tegaskan,
Jawabannya adalah kita.
Lagi,
Aku tak mendengar...

Sungguh aku tersanjung...
Diingini oleh wanita hebat sepertimu
Meski sering kuabaikan,
Sabarmu,
Sungguh besar hatimu

Maafkan aku yang masih seperti ini,
Sementara kamu mulai takut bermimpi soal kita...

Jangan jera,
Kumohon...
Teruslah bermimpi..
Sungguh aku tak bermaksud meredupkanmu...

Bersinarlah...
Bantu aku melarikan diri dari kepekatan ini,
Yang membutakan aku,
Menulikan telingaku,
Membungkus hatiku,
Mengabaikan malaikat tak bersayap yang nyata ada di sisiku

Bersinarlah...
Aku tahu,
Mimpi adalah kekuatan bagimu

Maaf, beberapa sudah kupatahkan.

Dari, lelakimu 🌹

Selasa, 25 Oktober 2016

Menua, menjadi tua

Saat nanti..
Di ruang tengah,
Menunggu anak-anak pulang,
dengan beberapa temannya.
Aku sudah bisa memasak,
sekedar pisang goreng di musim hujan.
Kamu masih menikmati pisang goreng buatanku dan kuseduhkan kopi dengan sedikit gula.
Menanyakan pada anak-anak,dari mana saja seharian..
Aku kembali ke dapur untuk menggoreng lagi beberapa pisang.
Alunan gitarmu membayar sepi saat mereka jauh.
Hingga mereka pulang, kita melebur nada sebagai gambaran rindu.
Aku masih menggambar,
namun ketika itu aku akan hanya mendengarkanmu bernyanyi, memeluk anak-anak yang akan tumbuh dewasa.

Jumat, 26 Agustus 2016

Senada lebih tinggi

Satu satu..
Bait demi bait mulai sia sia
Meredam bahagia menjadi duka
Menepis tawa berganti amarah

Senada..
Mungkin dua nada lebih tinggi,
Atau lebih tinggi lagi,
Hingga dadanya berdebar sesak

Di padang sunyi, sangat sunyi
Kuas dari seberang melukis tawa di bibir yang membiru
Memberi sedikit rona pada pipi yang memucat

Sebelum itu,
Wanita yang sendiri dalam diamnya
Menahan segala isi hatinya
Gundah berkepanjangan
Menjaga lisan agar tak menyakiti
Namun sia-sia,
Baginya, selalu tersisa marah
Baginya, selalu tersisa nada tinggi itu
Baginya, selalu tersisa kesalahan
Hanya baginya, bagi wanita itu

Tangannya lumpuh
Telinganya tuli
Matanya buta
Lisannya bisu
Hatinya membeku
Terbiasa pulang pada sangkar yang ia yakini sebagai rumah,
Asal dari nada tinggi itu...

Mengenang hingga gila
Merindukan nada yang belum setinggi itu,
Begitu manis
Melamun hanya melamun sampai mati

Sebait rindu dibalik kardus
Semanis ingatan sebelum lumpuh
Sebelum mati.

Senin, 04 April 2016

Persimpangan jiwa

Akan datang
Seikat ingatan yang pernah hilang
Kepada siapa harus pulang
Tandu terhuyung ke danau seberang

Dua manusia
Dua raga
Dua mimpi
Dua ambisi
Dua kepribadian
Dua sudut pandang
Dua ego
Dua hati
Dua... dan tak satu

Langkah kita beriring
Namun tujuan kita tak sama

Tubuh kita berpelukan
Namun menghadap arah yang berbeda

Mata kita bertatap
Namun kosong

Kelingling kita terkunci
Namun hati kita entah dimana

Lalu,
Gerimis mulai bertanya pada awan
Kapan hujan akan turun

Di suatu persimpangan
Kita pernah saling menangisi
Mambenci jalan yang bercabang
Dan membenci diri yang memilih

Langkah kita semakin jauh
Jalan yang kita putuskan di persimpangan membawa kita pada proses yang berbeda
Apa kabar?
Apa kau bertemu kurcaci hutan? 
Atau kau bertemu putri duyung?
Aku tak pernah tahu

Jiwa kita tak lagi merindu
Hasratku membeku
Lumpuh

Sudahi,
Perjalanan ini tak berarah
Kelak kau akan tau,
Tatkala tulang rusukmu sudah hancur

Kelak kau akan tau,
Tatkala mimpimu mulai terbeli

Kelak kau akan tau,
Tatkala telingamu sudah bisa mendengar hatimu...

Dan kelak akan kau pahami,
Tatkala karang itu terkikis ombak yang tiada berhenti mengiringi

Akan datang,
Satu jiwa yang melengkapimu
Memeluk egomu
Membasuh amarahmu
Menopang kerasmu
Memuji angkuhmu,

Jiwa yang lain,
Yang kau temui dalam perjalananmu

Dan aku,
Dengan perjalananku sendiri...
Mencari ayah
Mencari ibu
Mencari mimpi
Mencari...
Mencari...
Dan berjalan, mencari...
Jiwa yang bersedia berdamai,
Jiwa yang lain...

Minggu, 07 Februari 2016

feBLUEari

Pada titik yang tak terduga
Kepenatan ini semakin nyata
Merajai diri yang bertameng tawa
Menopang batin yang luka

Pada suatu petang di ujung kota. Jika masih ingat kisah pak tua itu, semoga aku tak melukai siapapun. Karena aku telah lancang berpetualang dalam ruang gelap batinnya. Anak gadisnya, mungkin sudah besar, memiliki kekasih, dan… entah, semoga pak tua masih tinggi bertahta dalam hati anak gadisnya, sebagai satu-satunya pria yang akan sangat terluka saat sedikit saja air mata gugur dari mata si anak gadis.
Anak gadisnya tumbuh menjadi wanita yang tangguh. Hati setengah pria membantunya menipu dunia namun tak akan bisa mengingkari bahwa ia tetaplah seorang gadis yang rindu ayahnya.
Purnama tlah usai. Cahayanya memudar seiring kepergian ibu. Ibu pergi membawa sejuta rindu untuk dicintai. Jauh membelakangi aku dan ayah yang berdiri tegak namun enggan melambaikan tangan. Ibu…
Anak gadisku sudah tumbuh besar. Ayah tak tahu bagaimana cara mendidikmu menjadi wanita yang seutuhnya. Ayah tidak bisa merasakan ketika kau jatuh cinta atau bahkan patah hati. Ayah tak tahu cara membelaimu manja, seperti anak gadis lainnya. Ayah juga tidak bisa mengajarimu memasak dan bersolek. Maafkan ayah…
Kau sangat mirip dengan ayahmu. Sikapmu yang keras kepala tak ubahnya ayahmu. Kini ibu tlah jauh darimu, tlah jauh dari ayahmu. Hati ini tak bisa dipaksakan. Ibu tahu kau marah, nak. Ibu tahu kau benci dengan keadaan ini. Ibu tahu sulit bagimu menerimanya. Ibu tak pernah menginginkan penderitaanmu. Percayalah, ibu menyayangimu. Kelak jika kau sudah dewasa, kau akan mengerti . percuma menjelaskan padamu saat ini. Jiwamu sedang marah, penuh oleh emosi. Maafkan ibu…

###
Membenci hanya akan menyakiti diriku sendiri. Sejak saat itu, tak pernah sekalipun kurasa nyenyak dalam pejaman mataku kala malam tiba. Ranjangku sangat nyaman. Udara di kamarku sangat segar dan semua kebutuhanku ada di sana. namun nyatanya kenyamanan dan kedamaian ini gersang bagiku. Ruangan ini mengunci semua imajinasiku. Ruangan ini mengunci semua mimpiku. Ruangan ini seperti peternakan. Menamung aku yang lapar hingga kembali kenyang, siap untuk disembelih. Aku rindu ayah. Aku rindu ibu. Aku rindu tawa di atas jok roda dua.
Seorang pemuda bertanya padaku, terbuat dari apa hatiku. Yang ia tahu hanyalah aku yang pelit senyum untuknya. Yang ia tahu hanyalah aku yang selalu memukulnya. Yang ia tahu hanyalah aku yang selalu menyalahkannya. Yang ia tahu hanyalah aku selalu meremehkannya. Segala yang ia tahu hanyalah aku yang bertameng dusta. Hanyalah aku yang mencoba berdiri diatas serpihan kisah hidupku yang tak menyenangkan.
Tiada lagi kukenali diriku kini. Sekitarku hanyalah drama murahan yang tak jelas siapa pemeran utamanya. Tak jelas siapa antagonis dan protagonisnya, tak jelas bagaimana awal dan akhirnya. Semua mengambil alih. Tak terkecuali pemuda yang bertanya terbuat dari apa hatiku.
Sebentar kurasa angin segar dari pemuda itu. Namun tak lama, pemuda membuatku muak dengan dramanya yang selalu meributkan hal yang itu-itu saja denganku. Bukan tanpa alasan jika aku ingin membunuhnya karena terlalu berisik. Bukan juga tanpa alasan saat aku menyadari betapa baiknya pemuda itu, hingga akan lebih baik aku bunuh diri saja agar semuanya selesai. Satu manusia mati, dan perannya selesai.
Pemuda itu mengambil bagian sedihku. Bahunya kubuat bersandar. Kuhela nafas panjang, menikmati dunia. Sebentar saja, ingin kurasakan hembusan angin. Damai , tapi gersang. Menit demi menit kuhabiskan duduk berdua dengan pemuda itu di puncak gunung yang indah. Bahunya setia menopang kepalaku. Hingga ia mendapat jawaban terbuat dari apa hatiku ini.
Satu-satunya yang terisa dari mimpiku adalah aku ingin mencintai pemuda itu dengan tulus dan sederhana. Aku tidak tahu bagaimana caranya, karena aku tak pernah melihat ibu melakukan itu kepada ayah. Begitupun aku tak tahu apa yang menjadi mimpinya denganku, karena ayah tak pernah menceritakan padaku apa mimpinya dengan ibu.
Seperti yang lainya. Aku ingin menjadi pengantin yang bahagia. Soal mimpi dan ambisiku, sudah kubunuh. Ragaku hanya tersisa untuk asa mereka, bukan lagi asaku. Hanya satu, dan satu-satunya, pemuda itu mimpi terbesarku saat ini. Satu-satunya mimpiku, bermimpi bersamanya.
Jika hal terpahit yang akan kutelan adalah kepergian pemuda itu, maka aku tak akan lagi bermimpi, aku tak akan lagi hidup. Ku ‘kan layu, berserakan, tertiup angin. Ku ‘kan hilang, ku ‘kan jadi hujan…
Tiada terkenang…
Tanpa nama…

Hanya riwayat…